cover
Contact Name
Sandy Theresia
Contact Email
sandytheresia.md@gmail.com
Phone
+6285350877763
Journal Mail Official
journalmanager@macc.perdatin.org
Editorial Address
Jl. Cempaka Putih Tengah II No. 2A, Cempaka Putih, Central Jakarta City, Jakarta 10510
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Majalah Anestesia & Critical Care (MACC)
Published by Perdatin Jaya
ISSN : -     EISSN : 25027999     DOI : https://doi.org/10.55497/majanestcricar.xxxxx.xxx
Core Subject : Health,
We receive clinical research, experimental research, case reports, and reviews in the scope of all anesthesiology sections.
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 38 No 3 (2020): Oktober" : 6 Documents clear
Perbandingan Pengajaran Menggunakan Laringoskop Video dengan Laringoskop Konvensional Terhadap Keterampilan Mahasiswa Kedokteran dalam Melakukan Intubasi pada Manikin Rudyanto Sedono; Raden Besthadi Sukmono; Nurul Huda El Muhammady
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 3 (2020): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (419.853 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v38i3.194

Abstract

Latar Belakang. Intubasi endotrakea merupakan keterampilan penting yang perlu dikuasai oleh seorang dokter. Saat ini pengajaran intubasi pada mahasiswa kedokteran di Indonesia menggunakan laringoskop konvensional. Dalam beberapa tahun terakhir, laringoskop video mulai digunakan dalam pelayanan dan pendidikan kedokteran di dunia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sarana pengajaran yang lebih baik dalam proses pelatihan keterampilan intubasi mahasiswa kedokteran di Indonesia. Metode. Penelitian ini bersifat eksperimental, acak, tidak tersamar, tidak berpasangan. Penelitian dimulai setelah mendapat persetujuan dari Manajer Pendidikan dan Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM. Subjek pada penelitian ini melibatkan 40 mahasiswa kedokteran preklinik FKUI semester 2 yang tidak pernah mendapat kuliah atau pelatihan intubasi sebelumnya. Subjek dibagi menjadi empat kelompok pelatihan, yaitu dua kelompok laringoskop video dan dua kelompok laringoskop konvensional. Setelah dilatih selama 120 menit melakukan intubasi pada maneken, subjek diuji melakukan intubasi menggunakan laringoskop konvensional untuk mendapatkan data waktu intubasi dan jumlah upaya intubasi. Hasil penelitian. Nilai median waktu intubasi kelompok laringoskop video 151,5 (55-383) detik dan kelompok laringoskop konvensional 56,5 (23-251) detik, dengan nilai p<0,001. Jumlah upaya intubasi kelompok laringoskop video 1 (1-3) kali dan kelompok laringoskop konvensional 1 (1-4) kali, dengan nilai p=0,114. Kesimpulan. Pengajaran dengan laringoskop video tidak terbukti lebih baik dibandingkan dengan laringoskop konvensional terhadap keterampilan mahasiswa kedokteran FKUI dalam melakukan intubasi.
Shoulder Interfascial Plane Blocks as sole Anaesthesia for Frozen Shoulder Manipulation Syahrul Mubarak Danar Sumantri
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 3 (2020): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (472.33 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v38i3.196

Abstract

Passive manipulation for patients with frozen shoulder may enable fast recovery of shoulder symptoms. For the concern of many clinicians that deep anaesthesia and sedation for frozen shoulder manipulation may carry certain difficulty in identifying pericapsular structures damage during the procedure, we proposed a novel shoulder interfascial plane blocks for awake frozen shoulder manipulation.
De-resusitasi Dini dengan Target Balans Negatif pada Pasien Pediatrik dengan Demam Berdarah Dengue untuk Mencegah Disfungsi Organ Multipel Lukas Handoko; Yohanes George
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 3 (2020): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (370.131 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v38i3.199

Abstract

Resusitasi cairan adalah langkah awal untuk mengimbangi kebocoran plasma pada demam berdarah dengue. Ketika resusitasi cairan tercapai, cairan resusitasi yang masuk kedalam tubuh akan di redistribusi ke jaringan dan berakhir dengan edema jaringan. Disfungsi multi organ dapat terjadi akibat edema jaringan. Dalam konsep ROSE, Malbrain mengemukakan konsep evakuasi cairan untuk mencegah gangguan multi organ. Konsep ROSE terdiri dari tahapan-tahapan resusitasi, optimalisasi, stabilisasi, dan evakuasi. Pada kasus ini, anak laki - laki 5 tahun, keluhan demam dengan diagnosis demam berdarah dengue. Masuk ICU dengan penurunan kesadaran dengan disertai efusi pleura kanan. Balans kumulatif +2089 ml dengan persen fluid overload 11,7% setelah resusitasi cairan di IGD. Furosemid diberikan dalam rangka deresusitasi dini untuk mencapai balans cairan negatif. Sebagai kesimpulan, pemberian diuretika dini sebagai de-resusitasi merupakan intervensi yang dilakukan untuk membatasi perkembangan balans cairan positif yang dapat memperbaiki luaran pada pasien DBD. Strategi balans negatif dapat digunakan dalam managemen cairan untuk mencegah disfungsi organ multipel.
Perbandingan Keberhasilan Insersi Kanul Intravena Antara Penggunaan dan Tanpa Penggunaan Pemindai Vena pada Pasien Pediatrik Aries Perdana; Sidharta Kusuma Manggala; Astari Karina
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 3 (2020): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.065 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v38i3.200

Abstract

Latar Belakang: Pemasangan akses intravena pada pasien pediatrik memiliki kesulitan tersendiri. Pembuluh darah yang lebih kecil, lebih rapuh, dan jaringan subkutan yang lebih tebal pada pasien pediatrik mempersulit visualisasi vena. Pasien pediatrik yang tidak dalam pengaruh anestesi sering kali tidak kooperatif karena takut dan trauma akibat tindakan sebelumnya. Hal ini berdampak pada rendahnya angka keberhasilan upaya pertama insersi kanul intravena pada pediatrik. Alat pemindai vena dapat membantu visualisasi vena, namun efektivitasnya pada pasien pediatrik masih kontradiktif. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan angka keberhasilan insersi pertama kanul intravena pada pasien pediatrik menggunakan pemindai vena dan tanpa pemindai vena. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis, acak, tidak tersamar pada pasien pediatrik usia 0-5 tahun yang mendapat layanan anestesi di ruang diagnostik magnetic resonance imaging, computed tomography scan, dan radioterapi di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Sembilan puluh dua subjek dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok insersi kanul intravena dengan bantuan alat pemindai vena (Accuvein AV400) dan kelompok kontrol, insersi tanpa alat bantu. Data keberhasilan insersi pertama, waktu pemasangan, total jumlah upaya, serta status demografi subjek dicatat dan dianalisa untuk melihat hubungan penggunaan pemindai vena dan faktor lain yang mempengaruhi dalam keberhasilan upaya pertama insersi kanul intravena. Hasil: Angka keberhasilan insersi pertama lebih tinggi pada kelompok pemindai vena (76,1%) dari pada kelompok tanpa pemindai vena (52,2%) dengan cOR 2,92 (p 0,017). Warna kulit gelap memiliki angka keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan warna kulit terang (74,5% dibandingkan 53,5%, dengan nilai p sebesar 0,035). Faktor lainnya tidak berhubungan dengan keberhasilan insersi kanul intravena. Kelompok pemindai vena memiliki rerata waktu insersi yang lebih singkat yaitu 133,5 detik (55-607) dibandingkan tanpa pemindai vena 304,5 detik (65-1200). Simpulan: Kelompok pemindai vena memiliki angka keberhasilan upaya insersi pertama yang lebih tinggi dibandingkan tanpa pemindai vena. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan insersi hanya warna kulit.
Perbandingan Efektivitas Analgesik Oral Controlled Release Oksikodon 10 Mg dan Parasetamol 1000 Mg dengan Tramadol 50 Mg dan Parasetamol 1000 Mg dalam Mengatasi Nyeri Pascaseksio Sesarea Darto Satoto; Rahendra; Mujahidin; Imai Indra; Rifky Jamal
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 3 (2020): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (622.1 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v38i3.206

Abstract

Latar Belakang. Teknik multimodal analgesia dengan menggunakan dua atau lebih obat analgesik yang berkerja pada dua atau lebih jalur nyeri yang berbeda merupakan rekomendasi teknik manajemen nyeri akut pasca seksio sesarea. Teknik yang paling sering dipakai adalah dengan menggunakan analgesik intravena diikuti dengan penggunaan analgesik oral. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektifitas analgesik oral controlled release oksikodon 10 mg dan parasetamol 1000 mg dengan tramadol 50 mg dan parasetamol 1000 mg untuk mengatasi nyeri pascaseksio sesarea dalam 24 jam pertama. Metode. Penelitian ini menggunakan metode uji klinis prospektif acak tersamar ganda pada 58 pasien yang menjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi spinal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok sama besar untuk penanganan nyeri pascabedah. Kelompok oksikodon sebanyak 29 orang diberikan oksikodon controlled release 10 mg oral setiap 12 jam dan parasetamol 1000 mg oral setiap 8 jam sedangkan kelompok tramadol sebanyak 29 orang diberikan terapi tramadol 50 mg oral tiap 6 jam dan parasetamol 1000 mg oral tiap 8 jam. Penilaian nyeri pascabedah menggunakan Numerical Rating Scale (NRS) dalam posisi duduk, istirahat, menarik napas, dan interval waktu yang berbeda yaitu jam ke-1, 6, 12, 18, dan 24 pascapemberian obat pertama. Data yang terkumpul dianalisa lebih lanjut dengan secara statistik. Hasil. Oksikodon controlled release 10 mg dan parasetamol 1000 mg lebih efektif dibandingkan tramadol 50 mg dan parasetamol 1000 mg dalam mengatasi nyeri pascaseksio sesarea dengan NRS kelompok oksikodon lebih rendah secara signifikan dibandingkan kelompok tramadol pada tiap posisi pengukuran (P < 0,001). Kesimpulan. Oksikodon 10 mg CR oral ditambah dengan parasetamol 1000 mg lebih efektif untuk mengatasi nyeri pascaseksio sesarea dibandingkan dengan tramadol 50 mg oral ditambah dengan parasetamol 1000 mg.
Interfascial Plane Blocks: Chasing The Unseen Raden Besthadi Sukmono
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 3 (2020): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.848 KB) | DOI: 10.55497/majanestcricar.v38i3.210

Abstract

Ultrasound has revolutionized anesthesia practice towards a better and safer technique. Regional anesthesia and pain medicine is one of the fields in anesthesiology that ultrasound has changed in so many ways. One of the main goals of regional anesthesia is to provide analgesia and immobility of certain parts of our body. In the early days of regional anesthesia, local anesthetics (LA) were injected blindly through a needle towards the biggest nerve responsible for innervating the surgical field. As technology advances, especially in image quality department, identification of deeper and smaller structures has become possible. We are now able to differentiate layers of neural structure (epineurium, perineurium, and endoneurium) with ultrasound image and manage to pinpoint the exact location for LA deposition. This translates as faster onset of blocks, enhancement of block quality, and safer blocks in terms of neurotoxicity and systemic toxicity. Regional anesthesia has long been employed as means of intraoperative and postoperative analgesia. Interfascial block works on a principle that by injecting local anesthetics in large volumes between two layers of fascia will create a potential space that bathe numerous neural targets residing in between these layers. This eventually block a certain area based on the extent of the space created. Multiple planar endpoints may exist for the same neural target due to the contiguous connection of fascial planes around the body. The knowledge of interconnecting potential space and multiple neural target opens the question that needed to be answered with studies and research about interfascial block. Are these minimally invasive blocks are as good as the real block? Will the clinical parameters and the future studies show that? We’ll look forward to see them in the near future.

Page 1 of 1 | Total Record : 6